Cerita Dewasa - Tante Yani Pujaan Selangkangan ku
,- kembali lagi di XX-Book Cerita , kali ini saya akan memberikan
cerita dewasa tentang tante yani yang haus sex , silahkan di baca dan
nikmati , ingat ini khusus dewasa, yang belum cukup umur tidak di
wajibkan membaca.

Malamnya aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat
pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku
menikmati pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera
makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari
kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih
diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi.
Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di
pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas
penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat.
Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya
menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.
Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku. Goyangan makin
cepat, aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat
dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah
kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi,
seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa
memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu
membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku
ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol!
Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah,
kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya
pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak
mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman
sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.
***
Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah
barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di
pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi
malam ?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu
kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ??
?Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya
kamu belum pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu
mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa!
?Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar
saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati?
wanita sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah
pacaran ?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP
aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.?
?Kalau pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum
tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari
lalu. ?Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku
sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan,
sampai pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman
di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan.
Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran
baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku
caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu
ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya.
Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul
baru tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit
manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam
adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk
ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang
pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik
dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di
desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran.
Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana
bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu
jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman
dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran
sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ?
Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba.
Sepertinya sedap.
Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku
pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku
terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj
itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu
ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada
?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu
memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani
aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini,
montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat
?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala
hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah
menjadi Yuli. Anak ini memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya
indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli
yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV
kemarin. Kamipun berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai
kulepas, dua kancing dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar
dada Yuli menonjol biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya
besar juga. Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.
Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa,
membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau
mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau
menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa
adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap
pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan
bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada
rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang
memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir
seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak
kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan
kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap,
terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak
lepas dari pemandangan amat indah ini?
Hampir lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan
?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang
menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama.
Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul,
meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional,
dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit
dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah
dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau
daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan.
Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita
dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.
Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.
“Nih, buat kamu”
“Apa nih ?”
“Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati” Aku makin penasaran.
“Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik” bisiknya.
Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda
pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang,
mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas
ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan
sebagian pahanya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat sebenarnya, tapi
kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul
coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu
kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini
lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman
penuh. Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat
tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya
lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini
dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui.
Aku tak menemukan “segitiga terbalik” itu. Di bawah perut itu ada
rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki
cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai
di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya
lubang itu. Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di kanan
kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah
terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki.
Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita
dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante?
Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana
dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan
jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa
memberikan “jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh
pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta
membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula. Orangnya lincah dan
ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan sore hari
ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia pembantu.
Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia pembantu.
Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk lantai
kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang tersingkap
sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan sedikit genit.
Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya “Coba Mar aku pengin lihat
punyamu, sama engga dengan yang di majalah” Gila!. Jangan langsung
begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu. Apa salahnya?
dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara
memulainya ? Ah, dasar kuper!
Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun
lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan
selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah
berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai
menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh
siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku ketika aku
sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu Si
Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi
ketika melihat aku ada di dalam kamar.
“Masuk aja mbak, engga apa-apa” kataku sambil pura-pura sibuk membenahi
buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus
sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya
nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku
membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas
tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama
ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.
“Kenapa, Mas” Kaget aku.
“Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel”
“Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya” jawabnya cerah.
“Udah berapa lama mbak kerja di sini ?”
“Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun”
“Betah ?”
“Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?”Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.
“Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap”
Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.
“Tumben.” Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.
***
“Mana, yang kemarin ?” Dito meminta gambar cewe itu.
“Lho, katanya buat aku”
“Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!”
“Besok deh, kubawa”
Sampai di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya.
Sebentar aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih
putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh.
Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang
besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya.
Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu
kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada “barang” yang satu itu.
Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku “berhasil”
melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan
Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya
berbelit. Duduk di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak.
Rasanya si Mar ini makin menarik.
“Mau makan sekarang, Mas ?”
“Entar aja lah”
“Nanti bilang, ya. Biar saya siapin”
“Tante mana mbak?”
“Kan senam” Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam
tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku
ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si
Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh
masih banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ?
Akupun ke dapur.
“Masak apa hari ini ?” Aku berbasa-basi.
“Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja”
“Aku mau semua” Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.
“Sini aku bantu”
“Ah, engga usah” Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih,
pantatnya menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng.
Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja
menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. ‘Kan lagi membantu dia.
Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat,
aku tak yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak
tahan, kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.
“Iih, Mas To genit, ah” katanya, tapi tidak memprotes.
“Habis, badanmu bagus sih”. Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.
“Ah, biasa saja kok”
Akupun berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang
sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun
terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya
punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya.
Tapi ditepisnya tanganku.
“Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!”
“Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?”
“Yeee!” sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi
setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku
terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu.
Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan
aksi-aksi selanjutnya!
Kembali aku menunda sarapanku untuk “aksi selanjutnya” yang telah
kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia
dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya
berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat.
Kemudian Si Marpun meronta.
“Ah, Mas, jangan!” protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku
melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak
kesempatan.
“Terima kasih” kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir
memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang
aku selangkah lebih maju!
***
Aku ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito.
Tapi di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin
betul kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua
buku itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada di dalam buku
Gambar. Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum
orang itu memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas.
Siapa ya ? Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ?
Aku jadi memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu,
membuatku malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito
sekarang.
Siangnya pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar
sedang memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki
pantat Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di
sana. Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika
tahu mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh
arti. Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang
kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku
Gambar gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari
sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh
bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku
berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah
asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis “Hustler” edisi tahun lalu. Satu
serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga
gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya
sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang
besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap)
menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia
menempelnya kok agak ke bawah, di bawah “segitiga terbalik” yang penuh
ditumbuhi rambut halus pirang.
Gambar kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya memegang
bahu si Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh batangnya
kini terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ masuknya ?
Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia “masuk” dengan benar, karena di
samping jalan masuk tadi ada “yang berlipat-lipat”, persis gambar milik
Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini, “seharusnya” masuknya
penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata
salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si
Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah
seluruhnya tenggelam di “tempat yang layak” kecuali sepasang “telornya”
saja menunggu di luar. Mulut lelaki itu menggigit leher wanitanya,
sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk
menjepit putting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini
bergantian. Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan
milikku yang dari tadi telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh
tenggelam di tempat si Mar persis gambar kedua. Kenyataanya memang
sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam tangan kiriku. Akupun
meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua, setengah,
ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli.. gosok
lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu…
hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental,
lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku
sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih
melayang-layang. He! Kenapa aku ini? Apa yang kulakukan ? Aku panik.
Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau! Kurapikan lagi celanaku, sementara
si Dia masih tegang dan berdenyut, masih ada yang menetes. Aku menyesal,
ada rasa bersalah, rasa berdosa atas apa yang baru saja kulakukan. Aku
tercenung. Gambar-gambar sialan itu yang menyebabkan aku begini.
Masturbasi. Istilah aneh itu baru aku ketahui dari temanku beberapa hari
sesudahnya. Si Dito menyebutnya ‘ngeloco’. Aneh. Ada sesuatu yang lain
kurasakan, keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah meski badan agak
lemas..
***
Sehari itu aku jadi tak bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi.
Rasanya aku telah berbuat dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan
salahku seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar itu juga punya
dosa. Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu
ada di balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat.
Akan kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan
masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan
harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar
seperti kemarin. Ia telah memberi lampu hijau untuk aku “tindaklanjuti”.
Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah.
Hari berikutnya aku “harus” tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang
(menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih
molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran
terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di
halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku
ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang,
mukanya tertutupi majalah “Femina”, terdengar dengkur sangat halus dan
teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi
seperti dulu tapi ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk.
Agaknya habis keramas, membaca terus ketiduran. Model baju mandinya
seperti yang warna putih itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di
pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah
dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya
terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu
naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku
hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga
belahan bawah baju-mandi itu terbuang ke samping, memberiku “pelajaran”
baru tentang tubuh wanita, khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam
di sana.
Tanteku ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh
“segitiga terbalik”. Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di
tengah menipis di pinggir-pinggirnya. “Arah” tumbuhnya seolah diatur,
dari tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri.
Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak
keriting. Wow, sungguh “karya seni” yang indah sekali! Kelaminku tegang
luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak
asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika.
Kalau Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali
kalau diminta Tante memijit. Aman!
Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan Tante,
kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku ‘kan waspada. Hampir tak
bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran bagian bawah rambut indah
itu yang kecermati. Ada “daging berlipat”, ada benjolan kecil warna
pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu. Dan di bawah
benjolan itu ada “pintu”. Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku
masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ?
Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ,
persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba
Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di
situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus
terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas
baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski
perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku
masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku. Bisa berantakan masa
depanku. Aku “mencatat” beberapa perbedaan antara milik Tante dengan
milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik
bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih “panjang”, warna
sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku
mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh
Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama
sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di
depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak
naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis
warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah
buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku
mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit
menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah “kurikulum”
pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku
menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun
bagaimana ? Kuurungkan niatku. Tapi pelajaran tak selesai dong! Ayo,
jangan bimbang, toh dia sedang tidur nyenyak. Ya, dengkurannya yang
teratur menandakan ia tidur nyenyak. Kembali kuangkat tanganku.
Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain
itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke samping. Macet, ada yang
nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya.
Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah.. Puting itu berwarna merah
jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar mini. Amboi .
indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin meremasnya. Jangan, bahaya.
Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja khawatir Tante
terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri, menubruk tubuh indah
tergolek hampir telanjang bulat ini.
***
Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin
dan puting merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa
sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera
ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung.
Tapi dengan siapa ?
Hari ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya, aku
membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma di
kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang
siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi
istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan,
bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat
menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang
nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang
ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku
terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku
pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang
penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri,
teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap
putingnya.
“Lho, kok udah pulang, To” sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda.
“Iya Tante, ada pelajaran bebas” jawabku berbohong. Kubukakan pintu
mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil.
Uih, dadanya serasa mau “meledak” karena ketatnya baju itu.
“Terima kasih” katanya. “Tante pergi dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku.
***
Selasai mandi hari sudah hampir gelap. Di ruang keluarga Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.
“Senamnya di mana Tante ?” Aku coba membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.
“Dekat, di Tebet Timur Dalam”. Malam ini Tante mengenakan daster pendek
tak berlengan, ada kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah.
“Tumben, kamu tidur siang”
“Iya Tante, tadi main voli di situ” jawabku tangkas.
“Kamu suka main voli ?”
“Di Kampung saya sering olah-raga Tante” Aku mulai berani memandangnya
langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget!
“Pantesan badanmu bagus” Senang juga aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.
“Ah, Kalau ini mungkin saya dari kecil kerja keras di kebun, Tante” Wow,
buah putih itu mengintip di antara kancing pertama dan kedua di tengah
dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.
“Kerja apa di kebun ?”
“Mengolah tanah, menanam, memupuk, panen” Buah dada itu rasanya mau meledak keluar.
“Apa saja yang kamu tanam ?” tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.
Kancing terakhir daster itu sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya
menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster itu tidak “ikut”, jadi 70 %
paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di
celanaku, berangsur membesar.
“Macam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.
“Kalau kamu mau makan, duluan aja”
“Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang “lapar”
“Oom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam”
“Saya belum lapar” jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.
“Kamu betah di sini ?” Ia membungkuk memijit-mijit kakinya. Betisnya itu…
“Kerasan sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante, biasa kerja
di kampung, sih. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siap”
“Ya, kamu biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugas”
“Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada alasan buat menikmati betisnya.
“Pegel, tadi senamnya habis-habisan”
Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat
“celah”. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah
pertama, lebar karena busungan dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas
buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah. Celah
ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya. Celah
berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam
Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan
terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.
“Mau bantu Tante sekarang ?”
“Kapan saja saya siap”
“Betul ?”
“Kewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apa”
“Pijit kaki Tante, mau ?”
Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas mendebarkan ini
“Biasanya sama Si Mar, tapi dia lagi engga ada”
“Tapi saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki
teman yang keseleo karena main bola” Aku berharap ia jangan membatalkan
perintahnya.
“Engga apa-apa. Tante ambil bantal dulu” Goyang pinggulnya itu…
Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari
pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh
Tante pernah kulihat, tapi baru inilah aku merasakan mulus kulitnya.
Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu halus.
“Begini Tante, kurang keras engga ?”
“Cukup segitu aja, enak kok”
Cerita Dewasa - Tante Yani Pujaan Selangkangan ku