Kebiasaanku tidur ngelantur belum bisa dibuang. Sejak aku SMA aku sulit
sekali dibangunkan pagi-pagi, apalagi sekolahku selama kelas 1 dan kelas
2 selalu siang hari. Ini pula yang menjadi kebiasaanku sewaktu mulai
kuliah. Waktu aku menginjak kota Bandung pertama kali, udara dingin kota
itu benar-benar membuatku masih terbuai mimpi meski sudah terang. Aku
kuliah di salah satu PTS yang hampir semua kegiatannya di waktu sore
hari, sehingga bagiku hidup dengan tertidur lelap di pagi hari cerah
merupakan kebiasaan. Kawan-kawan satu kost-ku biasanya sudah sunyi waktu
aku bangun untuk sarapan dan mandi, tapi kebiasaanku adalah sarapan
sambil nonton TV, baru mandi.
Tante kost-ku termasuk yang baik,
tak jarang untukku sengaja disiapkannya secangkir kopi atau kue untuk
sarapan, atau semangkuk mie rebus hangat. Aku disayangnya, karena bila
pagi hari rumah kost itu kosong dan akulah yang menemaninya mengurus
segala sesuatu, menyapu, masak, atau apa saja. Walau aku suka tidur
ngelantur, tapi aku termasuk anak yang rajin kerja di rumah. Tante ini
masih muda, tetapi sudah janda. Ia hanya punya satu orang anak dan sudah
bekerja di Sumatera. Praktis, ia hanya seorang diri di rumah. Namun
kecantikannya tetap ia pelihara, sehingga di usianya yang mendekati
kepala lima ia masih tetap cantik dan kencang.
Suatu hari aku
nonton film biru pinjaman dari kawanku. Di rumah rupanya seperti biasa
hanya aku saja lagi yang merupakan penghuninya. Aku ke kamar kecil
sebentar, lalu memutar film itu di VCD komputerku. Karena asyiknya,
melihat adegan yang panas aku tidak tahan, aku melucuti satu-satu
pakaianku, tinggal CD-ku saja yang bertahan, itupun cuma sebentar, lalu
kupelorotkan hingga ke paha. Aku merasa penisku menghentak-hentak minta
dikeluarkan. Aku nonton dengan mata setengah membuka, sambil berbaring
kuelus-elus penisku yang makin tegak. Gerakan tanganku sudah menjadi
cepat, ah… aku nggak tahan lagi, lalu aku kocok terus dan terus, kugigit
selimut untuk menahan jeritan nikmat yang benar-benar menyelimuti pagi
yang indah itu. Sesaat kemudian nafasku mendengus sambil menyemprotkan
mani ke dadaku.
“Ah… hmmm… ah…” aku merasa tubuhku ringan, lalu aku merasa ngantuk dan terlelap.
Tiba-tiba
aku merasa pahaku dielus orang. Aku tersentak kaget. Ah, ternyata tante
sudah ada di dalam kamarku. Ia menggunakan gaun putih yang tipis dan
longgar. Kuhirup bau segar parfumnya yang menawan. Aku buru-buru bangkit
menarik CD yang kupelorotkan, air maniku meleleh ke sprei, nggak
kupedulikan. Tante kemudian menatap mataku, tampak bergelora api nafsu
yang menggelegak di balik pandangannya itu.
Tangannya meraih
tanganku, “Raf, Tante minta maaf masuk kamarmu tanpa mengetuk, abis tadi
Tante lihat pintu kamarmu nggak dikunci. Tante bawa sarapan, tapi,
Tante lihat kamu lelap kayak gitu,” katanya sambil mengelus pahaku
kembali.
Aku salah tingkah. Matanya melirik VCD-ku yang ternyata
masih memainkan film “laga” itu. Adegan demi adegan diawasinya, sambil
tangannya meremas bahuku. Dielusnya tanganku sambil menarikku duduk di
kasur. Kurasakan getaran halus lewat jari-jarinya, menahan gelora
nafsunya yang membahana. Aku mulai aktif dan terbakar suasana. Kupeluk
ia dari belakang, lalu kuhembuskan nafasku ke tengkuknya. Ia menggeliat
dan menjadi lebih beringas.
Tubuhnya berbalik. Dibalasnya
hembusan nafasku dengan ciuman lembut. Kedua tangannya dengan liar
menelusuri pinggulku, perutku, lalu puting susu di dadaku.
“Raf, beri Tante… Tante mau…” katanya penuh harap.
Ia
kemudian menarik CD-ku sampai tuntas, lalu dengan lembut mengelus
rambut kemaluanku, penisku yang masih terkulai lemas diremasnya dengan
lembut pula. Aku menggelinjang kegelian, tapi tangan tante lebih dahulu
menekan tanganku, seakan isyarat agar aku menurut.
Aku memejamkan
mata. Nafasku bergemuruh, kemudian tubuh kami terhempas di kasur. Tante
kemudian mengulum zakarku, sambil sesekali mencium penisku. Aku hanya
dapat menahan nafas, sambil mengerang penuh nikmat. Kemudian lidahnya
dengan liar menjilat penisku yang sudah tegak, sambil sesekali mengulum
dan menyedotnya penuh gairah. Aku benar-benar sudah siap laga, ketika ia
kemudian merebahkan tubuhnya di sampingku. Aku maklum.
Kubuka
gaunnya yang longgar, kemudian BH dan CD-nya. Tante dan aku sudah
sama-sama bugil. Aku mengambil posisi di atas, untuk memulainya. Pelan
kupeluk badannya, lalu kubelai rambutnya yang mulai beruban itu. Kucium
leher dan kupingnya, ia menggelinjang kegelian. Nampak, bulu lengannya
merebak menahan rasa itu, tapi mulutnya hanya mengerang. Lalu, bagian
leher bawahnya kujilat lembut, sambil sesekali jenggotku yang habis
dicukur kemarin kugesekkan. Badan tante kemudian menggeliat lebih liar,
sambil mendesahkan kata-kata yang tidak jelas.
Aksiku kulanjutkan dengan memainkan puting susunya yang menegang, sambil kujilat dan kuhisap perlahan.
“Ayo Raf, ayo!” katanya.
Aku
tidak peduli. Aku telusuri terus semua titik nyerinya. Sampai kemudian
wajahku berada di selangkangannya yang mulai berpeluh. Kubelai pubisnya
dengan lidahku. Kubuka labia minora-nya dengan lembut, kemudian tanganku
membelai perlahan labia minora-nya yang sudah mulai basah itu
berkali-kali.
Kakinya kemudian menekuk dan mengangkat pinggulnya.
Dimainkannya pinggulnya dengan goyangan yang berirama. Lidahku kemudian
beraksi, menjilat bagian labia minora-nya, lalu naik hingga
klitorisnya. Kulihat klitoris itu sudah menonjol kemerahan. Lalu, aku
mengangkat pinggulnya, dan kumasukkan penisku perlahan, sambil kugoyang
maju-mundur. Tante mengerang dengan tangan memegang erat pinggir kasur.
“Ayo, Raf, terus…!” katanya menyuruhku menggoyang badanku terus.
Aku menengkurapinya, lalu dengan sigap kusentakkan pinggulku sehingga penisku menghujam dalam ke vaginanya.
“Aduh, aduh… Raf, nikmat sekali,” katanya sambil memelukku.
Leher dan puting susunya terus kucium dan kujilat.
“Teruskan Raf! ayo sayang, aku sudah hampir sampai nih,” katanya.
Aku
makin menyentak. Keringatku mulai bercucuran, sementara tante pun
demikian pula. Rupanya tante sudah sampai ketika tiba-tiba tante
memelukku dengan tangan dan kakinya erat-erat sehingga aku tidak dapat
bergerak sama sekali. Di mulutnya hanya suara desah puas selama beberapa
saat. Kemudian pelukannya mengendur. Tante lemas.
Aku masih
penasaran, karena aku belum sampai. Kutarik perlahan penisku yang masih
menegang. Kulihat penisku berkilat-kilat karena lumasan vagina tante.
Kubuka selangkangan tante, ia mengerang dan menggelinjangkan pantatnya
ketika vaginanya kuraba lagi. Kurangsang tante agar aku dapat mencapai
orgasme. Lidahku beraksi, kugapai labia minora-nya lalu kujilat habis
bagian itu, bahkan maniku yang meleleh di situ kujilat sampai habis.
Lalu, klitorisnya yang memerah itu kusedot perlahan, “Ah, emm… mmm,” ia memekik lirih.
Badannya
yang mulai menggelinjang itu kemudian kutelungkupkan. Kunaiki
pantatnya, lalu kutekankan penisku ke vaginanya. Kemudian terasa suatu
sensasi di penisku, karena tante menutup rapat kakinya. Tanganku
kemudian memeluknya dari belakang, lalu aku menciumi tengkuknya yang
wangi. Tanganku terus memainkan putingnya yang mengeras itu sambil
kugoyang pinggulku, perlahan mula-mula, dan kemudian kemudian makin
cepat.
“Rafael, terus Raf, Tante hampir dapat lagi nih,” katanya berbisik.
Aku
tidak dapat menyahut. Nafasku memburu, karena nafsuku mulai memuncak.
Kurasakan nikmat menyelimutiku sampai habis, lalu rasanya itu maniku
sudah menghentak-hentak hendak keluar.
“Tante, Rafael mau keluar nih,” kataku berbisik.
Ia
hanya mengangguk. Kemudian dengan sekali hentakan lagi, aku merasakan
suatu sensasi baru, kenikmatan yang sangat panjang, “Crot… croot…
crooot…” terasa maniku menyemprot deras ke dalam vagina tante, sambil
tanganku memeluknya dengan erat.
Aku hanya dapat mengerang penuh nikmat surgawi. Aku lemas di atas badan tante, lalu terlelap beberapa saat lagi.
Beberapa
saat ia menggeliat. Ia bangkit dan mengenakan kembali pakaiannya.
Kurasakan tante memeluk dan menciumku mesra sekali. Disekanya keringatku
yang meleleh, lalu diselimutinya badanku yang masih telanjang.
Pergulatan itu memporak-porandakan kasurku, tapi aku kini merasa tidak
sendiri dalam menikmati dunia ini. Tante Win, di pagi hari siap selalu
mengantarkan sarapanku, dan jika suatu saat ia memerlukan kehangatan
diriku, aku Rafael, boy friend-nya, selalu ada di sampingnya.